Rabu, 06 Oktober 2010

Air Mata Aini (Part 3)

Aini, aku tau kau akan benci aku setelah kau baca surat itu. Bodohnya aku terhanyut dalam elok wajahmu. Harusnya kusampaikan saja surat itu dari awal. Aini, mengapa harus sekarang kau melihat surat dari Faisal itu? Saat kau sudah membuka lebar pintu hatimu untukku...





Aini, mengambil surat dan foto itu dengan kebingungan. Keningnya berkerut. Ia mulai membuka lipatan kertas itu dan sekarang memasang wajah terkejut. Ia mulai membaca dengan pelan.

Aini pelitaku,
        Maaf aku tak bisa mewujudkan cita-cita kita menikah di Jakarta. Aini kamu harus tau bahwa aku mencintaimu lebih dari bulan mencintai bumi. Tapi aku tak bisa membawamu bersamaku. Ada yang harus kuperjuangkan di sini, Tuhan telah mengutus aku untuk menyelamatkan dunia dari khilaf dan maksiat. Aku adalah bagian dari rencana Allah untuk keselamatan dunia. Mungkin kau takkan bisa mengerti sekarang, tapi suatu hari nanti kau akan tau betapa berarti perbuatanku ini. Aini, jaga dirimu baik-baik. Aku takkan mungkin bisa bertemu denganmu karena kematianku telah ditakdirkan. Aku menuliskan surat ini untuk terakhir kalinya agar kau tau betapa aku mencintaimu hingga akhir cerita hidupku. Pelitaku, maaf karena aku tak bisa menjadikanmu istriku seperti yang telah kita cita-citakan dari kecil. Cukup doakan aku agar tugas yang diberikan Tuhan padaku dapat terlaksana dengan baik. Aini, aku sangat mencintaimu. Mencintaimu adalah bahagiaku. Maaf untukmu dan keluargamu... 

NB : Kupercayakan surat ini kepada Ferdy. Dia adalah sahabatku, penolong hidupku. Kami berbagi segalanya di sini. Percayalah, kau akan mencintainya lebih dari kau mencintaiku.

Faisal

Aku melihat air mata Aini berlinang, ia pasti benci sekali padaku sekarang. Aku bisa mengerti kebenciannya. Aku hanya kurir yang diminta tolong Faisal untuk mengantar surat itu. Faisal, sahabatku, maaf aku tak menyampaikan surat itu dari awal. Harusnya tak kurobek amplopnya, harusnya kutahan penasaranku. Harusnya aku tak egois mencintai Aini seperti ini. Aini, kau boleh tampar aku sekarang, kataku dalam hati.

Aini menatap tajam padaku. Aku diam tak mampu bergerak dan berkata. Aini mulai menangis terisak sambil menutup wajahnya, tumpah seluruh kesedihan dan kerinduannya. Mungkin ia terkejut karena Faisal ternyata melepaskannya demi sesuatu yang tak jelas. Apa itu menyelamatkan dunia? Mengapa harus Faisal kekasihnya yang harus menyelamatkan dunia? Aku mendekati Aini, menyerahkan diri. Aini masih menangis dan aku masih membisu di hadapannya. Dapat kudengar suara isaknya, sungguh pilu melihatnya begini. Aini bergerak dan tiba-tiba memelukku, aku terkejut setengah mati, kukira ia akan memukuliku atau menamparku paling tidak.

"Ceritakan semua tentang Faisalku. Kemana ia pergi? Mengapa ia meninggalkanku dan menyerahkanku padamu?"


"Aku pun tak tau, aku dan dia hanya kenal sesaat. Ia menumpang kosan ku di Jakarta. Kami hanya sempat kenal 2 bulan. Ia bilang ia bekerja tapi ia tak pernah mengatakan apa kerjanya sampai akhirnya ia memintaku mengantarkan surat ini padamu. Maaf. Seharusnya kuberikan padamu dari awal."


Aini melepaskan pelukannya dan termenung, lama sekali. Air matanya terus menetes tapi isaknya sudah tak ada lagi. Aini, ingin sekali aku tau apa yang kau fikirkan. Aini mendadak bangun dari duduknya
"Aku mau cari Mas Faisal"
"Aini, jangan. Faisal sudah memilih tugasnya daripada kau. Jangan cari dia lagi."
"Kau tak tau rasanya jadi aku, ditinggalkan karena alasan yang tak jelas. Omong kosong dengan menyelamatkan dunia. Masih banyak orang lain yang bisa melakukannya"
"Aini..."
Belum sempat kulanjutkan kata-kataku, Aini sudah berlari pergi. Aku ingin mengejarnya tapi tak yakin Aini senang aku mengejarnya. Andai dapat kuhapus lukanya.


***

Sudah sebulan tak kulihat Aini di sini, rindu sekali aku pada senyum cerianya. Aku terus berkutat dengan "Andai". Andai aku memberikan surat itu sejak awal, andai Faisal tak meninggalkan Aini, andai Aini tak membaca surat itu, dan andai kami saling mencintai. Aini dimana kau sekarang? Pulanglah Aini !

Terdengar pintu diketuk dari luar, mungkin ibu kos menagih uang kos. Aku belum punya uang, sudah lama sekali tulisanku tak dimuat. Aku hanya diam, berharap ibu kos itu tak tau aku di dalam. Ia terus mengetuk, lama2 makin keras. Aku tak bergerak, nafaspun kutahan. 

"Ferdy !"

Suara itu membuatku terkejut, itu suara Aini. Aku yakin itu suaranya. Aku langsung bergerak ke arah pintu dan membukanya dengan cepat. Aku melihat Aini, wajahnya sedih tapi tak ada air mata. Tubuhnya semakin kurus saja.


"Aini, kamu darimana?" aku bertanya cemas.
"Aku dari Jakarta."
Aku terdiam, terkejut karena keberaniannya ke Jakarta padahal ia tak punya siapapun di sana.
"Kamu hmmm kamu bertemu Faisal?" tanyaku ragu
Dengan cepat ia melemparkan tubuhnya ke pelukanku dan mulai menangis.
"Aku tak bertemu Faisal, tapi aku melihat wajah Faisal dimana2, ia sudah meninggal karena bom. Dan semua orang bilang ia penjahat. Ferdy, aku sangat takut saat itu. Aku tak tau harus bagaimana dan aku cuma bisa berharap kamu datang dan menolongku di sana"
"Aini, jangan menangis lagi, aku disini...aku disini. Aku takkan biarkan kamu pergi lagi"
"Ferdy, aku mencintaimu"
"Aku juga mencintaimu Aini"


Dan begitulah akhir bahagiaku bersama Aini, kami benar-benar saling mencintai. Tak lagi hanya "Andai".
Faisal, terima kasih karena memberikan Aini padaku. Akan kujaga ia baik-baik, tak akan kubiarkan ia menangis lagi. Tenanglah kau di sana Faisal......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar