Senin, 04 Oktober 2010

Air Mata Aini (Part 2)

Aini, apakah aku sudah sedikit saja menyentuh hatimu? Aku bermimpi untuk menggenggamnya.





***

"Ferdy, kamu lihat apa?" tanya Aini
"Bukan apa-apa." Aku memasukkan lembaran kertas lusuh ke laci meja kerjaku dengan cepat.
"Kamu suka menulis?" tanyanya lagi
"Ya, aku seorang penulis, cuma penulis lepas." Jelasku
Aini melangkah pelan, melihat2 kosanku yang berantakan. Aku memandangnya, wajahnya penuh rasa ingin tahu. Manisnya ia lebih dari 2 bulan yang lalu saat aku pertama kali melihatnya.
Aku melangkah mengikuti Aini, mengikuti rasa penasarannya. Ia memperhatikan satu demi satu foto di dinding kosan ku. 
"Ini foto sia.... aahhhh" aku berdiri terlalu dekat di belakangnya sehingga saat ia berbalik, ia hampir jatuh. Untungnya lenganku cepat bergerak memegangnya. Kami saling menatap, 1 detik 2 detik, beberapa detik kami tak bergerak. Mataku berusaha membaca mata Aini. Ada rasa terkejut dalam tatapnya, tapi cepat berganti menjadi tatapan bingung, mungkin bingung mengapa aku tak melepaskannya. Aku merasa canggung, seperti ada kupu2 dalam perutku. Untuk pertama kalinya aku menatap Aini begini dekat.
Aini melepaskan lengannya pelan dari genggamanku. Ia membuang wajahnya, seperti salah tingkah. Lalu aku merasakan ada kecemasan di wajahnya entah mengapa.
"Aku mau pulang" ucap Aini
"Aku antar"
"Tak perlu" balasnya lantas terburu-buru meninggalkan kosanku.

***

Keesokannya hari hujan. Aku tak bisa bertemu dengan Aini. Aku ingin tahu keadaannya. Apakah air matanya ada dalam hujan ini ? Apakah ia baik-baik saja? Aini, apakah pintu hatimu sudah siap untuk diketuk?

***

"Ferdy...." Aini memanggil di depan pintu kosanku.
"Aini, koq pagi2 sudah datang?"
"Aku mau piknik. Ayo !" Ajaknya sambil menunjukkan sekeranjang makanan di tangannya. Ia menarikku ke sepedanya. Setengah sadar, aku memboncengnya menuju taman, tempat pertama kali kita bertemu.
Kami makan, bercanda, dan tertawa bersama. Senangnya aku hari ini melihat tawa lepasnya. Aini, kau telah memberi celah di hatimu untuk aku masuk. Tapi dapatkah aku memasuki hatimu yang sudah penuh kenangan dengan Faisal ?


Kami kembali ke kosanku, panas sekali di luar. Pipi Aini memerah karena kepanasan. Aku menyuruhnya masuk untuk beristirahat. Aini kembali meneliti kosan mungilku, kali ini ia melihat ke atas meja kerjaku. Ia melihat foto-foto tua ayah dan ibuku yang telah lama meninggal. Lalu ia duduk di atas meja itu, memandangku yang baru saja mandi. Ia tersenyum kecil padaku, aku membalasnya. Aku mendekati meja yang didudukinya, mencari sisir yang entah dimana kuletakkan. Entah mengapa Aini terus menatapku, aku balas menatapnya, lama2 semakin lekat dengan wajahnya. Bibirku mendekati bibirnya. Aku menciumnya pelan. Aku tak banyak berpengalaman dengan ini. Aku menarik wajahku dari wajahnya, menatap pipi Aini yang bersemu merah dan ia tersenyum. Bagus ! Setidaknya aku tidak ditamparnya. Aku kembali mencari sisir.
"Kamu cari apa?" Aini penasaran
"Sisir" 
"Aku bantu cari yah..." katanya sambil membuka laci.
DAMN ! sebodoh itu kutinggalkan laci itu tak terkunci. Kini Aini melihat kertas lusuh itu dan sebuah foto bergambar dirinya. Aini, tolong jangan kau ambil ! Jeritku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar