Selasa, 14 September 2010

Lara Larasati

Udah lama banget gw bikin ni cerpen tapi belum pernuh gw publish. So Angelina Vee proudly presents my short story, Lara Larasati. Not too special but thanks if u wanna read :)


***

Siang itu begitu panas, matahari sepertinya sedang murka hari itu. Di sebuah jalan yang penuh debu dan banyak kendaraan lalu lalang terlihatlah seorang perempuan muda. Perempuan  itu berjalan dengan tegar menyusuri jalan yang ramai itu. Ia sendiri pun tak tahu kemana langkah kaki membawanya, ia hanya berjalan lurus dengan hati yang hampa. Sesekali ia memegang perutnya yang lapar karena sudah sejak kemarin siang tidak diisi, tapi tak ada sedikitpun uang yang ia punya. Teringat kenangan-kenangan lalu yang membuatnya sedih, resah, dan marah. Ingin rasanya ia menangis, tapi ia merasa tidak akan ada artinya membuang air mata untuk mereka yang telah memperlakukannya secara tidak adil. Selangkah demi selangkah ia berjalan sambil dalam hatinya berharap ada gerbang kehidupan baru yang menunggu di hadapannya untuk diketuk.
***
            “Saya Larasati, Tante.” tuturnya.
            “Kamu anak dari Rianti ?” tanya wanita itu.
“Iya, Tante. Ibu dan Ayah saya baru saja meninggal karena banjir di desa kami, di Sukabumi.”
“Apa? Rianti sudah meninggal ?” tanya wanita itu terkejut bercampur sedih.
“Benar,Tante. Ibu sudah meninggal 2 minggu yang lalu dan satu-satunya alamat yang saya tahu hanya rumah Tante. Saya tidak pernah tahu apakah saya memiliki saudara yang lain selain Tante”
            Wanita itu sejenak terdiam mengingat kapan terakhir kali melihat adiknya. Rasanya sudah lama sekali sejak Rianti memilih laki-laki miskin itu sebagai jodohnya. Tapi kini duduk di depannya seorang dara jelita yang mengaku sebagai keponakannya, tampang lugunya kembali mengingatkannya pada adiknya dan ia mulai menangis. Kemudian ia memeluk Larasati seperti ia memeluk Rianti, adiknya.
            “Kamu boleh tinggal di sini. Masih banyak kamar kosong buat kamu.”
            “Terima kasih, Tante” ucap gadis itu.
            Sejak itu hidup Larasati berubah, gadis desa yang tinggal di gubuk sekarang menjadi gadis kota yang tinggal di rumah besar bak istana. Di sana ia tinggal bersama Tante Asti, Om Dwi, dan saudaranya, Tiara. Tante dan Om-nya sangat baik padanya, mereka menganggap Larasati anaknya sendiri, tetapi sikap Tiara tak pernah sebaik orangtuanya. Ia benci pada Larasati karena sekarang ada putri lain dalam keluarga itu.
            Walaupun Larasati telah tinggal di kota tetapi sifat lugu tak pernah hilang darinya. Ia disekolahkan di sekolah yang sama dengan Tiara dan mereka pun masuk di kelas yang sama namun Tiara tak pernah mengakui Larasati sebagai sepupunya, ia selalu mengejeknya dan memperlakukannya semena-mena. Larasati sedikitpun tak pernah membalas perlakuan Tiara. Bahkan dia selalu membantu Tiara menyelesaikan tugas-tugasnya. Di sekolah itu, Tiara telah menjadi ‘it’ girl sejak dulu, banyak cowo-cowo ganteng pernah menjadi pacarnya, tapi tidak halnya Larasati, walaupun ia cantik dan pintar tetapi kelakuannya yang sering dianggap ‘cupu’ dan logat Sunda yang masih kental membuatnya menjadi bulan-bulanan di kelas.
            Suatu hari, karena tidak tahan dengan perlakuan Tiara dan teman-temannya, Larasati berlari ke belakang sekolah sambil menangis di sebuah sudut. Di sanalah ia menumpahkan semua kesedihannya yang entah sejak kapan sudah menumpuk di batinnya. Kepergian orangtuanya menjadi memori yang terputar kembali dalam kepalanya. Ia pun merasakan sepi sekali hidupnya.
            “Lo nangis ?” tanya seorang lelaki yang datang.
            “Bagas ” ucapnya tidak menjawab
            “ Lo kenal gue?” tanyanya lagi.
            “Saya tau kamu, yang suka main basket kan?”
            “Lo siapa? Kenapa nangis di sini?”
            “Saya teh Larasati, panggil sajah Laras, saya teh ga apa-apa”
            “Seorang cewe nangis ga mungkin ga ada apa-apanya. Ayo cerita ke gue !”
            Kemudian karena desakannya Laras bercerita dengan polosnya semua kisah hidup yang membuatnya menangis. Bagas mendengarnya dengan seksama dan sesekali berkomentar. Dari situ lah awal Laras mengenal Bagas, cintanya yang sangat naïf.
***
            Perempuan itu masih berjalan tapi langkahnya sudah goyah, tertatih-tatih ia berjalan. Kepalanya sungguh pusing, perutnya demikian sakit. Sambil memegang perutnya, yang jika dilihat dengan seksama sedikit lebih buncit, ia mencari tempat untuk beristirahat. Akhirnya ia duduk di sebuah halte yang sepi. Ia tak punya apa-apa, hartanya hanya kaos dan jeans yang menempel di kulitnya. Wajahnya yang kotor terkena debu jalanan masih memancarkan sinar ayunya. Ia duduk sambil berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia sedang memikirkan tentang bekerja atau meminta-minta saat 3 orang laki-laki berbadan besar menghampirinya dan meminta uang. Ia mengatakan dengan baik-baik bahwa ia tak punya uang sama sekali tapi para lelaki itu memaksa. Orang-orang di sekitarnya melihat tapi berusaha menghindar, tak ada niat menolong sedikitpun. Perempuan itu berkali-kali mengatakan bahwa ia tak punya uang tapi laki-laki yang tidak berprikemanusiaan itu memukul perempuan itu tepat di perutnya. Ough ! Teramat sakit yang dirasakan perempuan itu dan 3 laki-laki yang tidak mendapat uang pun pergi meninggalkannya.
***
            “Laras !!!”
            “Kunaon teh Tiara ?”
            “Ada apa lo sama Bagas?”
            “Tak ada apa-apa atuh, Ra. Saya teh baru saja kenal”
            “Gue peringatin yah, jangan deket-deket sama Bagas. Dia itu punya gue,” ancam Tiara sambil menunjuk wajah Laras.
            Ancaman Tiara membuat Laras tidak berani dekat-dekat dengan Bagas, tapi justru karena itulah Bagas yang merupakan ‘it’ boy di sekolah semakin penasaran untuk menaklukan gadis lugu itu.
            “Laras, lo suka kan sama gue?” tanya Bagas.
            “Saya teh tidak tau.” Laras menghindar dan berusaha lari
            Bagas menarik Laras dan berusaha memeluknya, Laras pun takluk, tak melawan.
            “Lo pasti suka kan sama gue?” tanya Bagas lagi
            “Iya, Bagas. Saya teh suka sekali sama kamu” Laras mengakui
            Sejak saat itu, Bagas dan Laras selalu berdua. Kemanapun Bagas pergi selalu ada Laras. Bahkan Laras sering kali menginap di apartemen Bagas. Tiara pun tidak tinggal diam melihat pujaan hatinya direbut oleh gadis naïf seperti Laras. Berulang kali Tiara menyiksa Laras dengan berbagai cara tapi Laras tidak pernah mengadukan Tiara pada tantenya. Semuanya ia ikhlaskan terjadi, begitu pula saat Bagas mencoba mengambil keperawanannya. Ia tidak melawan, ia merasa memang begitulah cara gadis metropolitan untuk memperjuangkan cintanya. Ia tidak tau akan hal-hal yang menunggu di depannya akibat ia melakukan hal itu.
            “Kita putus” ucap Bagas
            “Apa? Aku salah apa ?” tanya Laras
            “Aku udah bosen ajah sama kamu.”
            “Apa? Segampang itu kamu bilang putus?”
            “Ahh…udahlah…Kalo gue bilang putus ya putus” Bagas berkata seraya meninggalkannya.
            Tangis Laras meledak, tak tahu lagi harus mengadu pada siapa. Padahal ia sangat mempercayai kata-kata cinta dari bibir Bagas dan kini semuanya hancur, hilang, tak ada lagi cinta dalam hatinya, berganti benci yang teramat dalam. Terlebih tak berapa lama kemudian, Laras tahu kalau Bagas berpacaran dengan Tiara. Hati Laras sungguh sangat sakit. Kemudian ia mendadak mual-mual dan pusing, ia muntah-muntah dan tantenya membawa Laras ke rumah sakit untuk diperiksa. Laras, om, dan tantenya sangat terkejut dengan hasilnya bahwa Laras telah hamil 3 bulan.
            “Pergi kamu Laras ! Ternyata Rianti memang salah pilih suami. Anaknya jadi tidak benar begini, bikin malu keluarga kita” tantenya mengusir Laras
            “Laras harus pergi kemana, Tante? Laras tidak punya saudara lain selain tante”
            “Halah…cari ajah tuh om-om kaya yang mau nampung lo.” timpal Tiara
            “Ra, plis jangan usir aku. Aku ga punya siapa-siapa lagi.”
            “Siapa yang peduli sama lo? Pergi lo ! Bikin malu ajah di sini”
            Tiara dan ibunya membiarkan Laras pergi tanpa membawa apapun. Tak ada sedikit kasihan pun mereka berikan pada Laras.
***
            Sambil terus memegang perutnya yang sangat sakit, perempuan itu berjalan mencari orang yang dapat menolongnya. Tapi orang-orang di sekitarnya mengacuhkannya dan tidak peduli. Saat darah mulai mengalir di sekujur kakinya, barulah mulai banyak orang datang menghampirinya. Ada yang berniat membantu, adapun yang hanya melihat. Perempuan itu tak kuat lagi berdiri, ia jatuh ke trotoar, disaksikan banyak orang. Rasa sakit itu seperti menusuk-nusuk perutnya, tapi hatinya lebih sakit lagi. Terbayang perlakuan semua orang terhadapnya, saudaranya, tantenya, dan mantan pacarnya yang seharusnya menjadi ayah bayi dalam kandungannya. Tak kuat menahan sakit lagi, perempuan itu telah menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Kalaupun hari itu ia akan berkumpul kembali dengan ayah dan ibunya, mungkin ia akan lebih bahagia.
***
Pagi itu, Tante Asti dengan seksama membaca surat kabar. Ia suka sekali membaca tentang berita kriminal ataupun cerita dari korban kejahatan. Dan kali itu matanya tertuju pada berita di sudut halaman tentang seorang perempuan hamil yang ditemukan meninggal di trotoar jalan karena dipukuli preman. Tante Asti membaca berita itu kalimat demi kalimat dengan teliti hinggal berkali-kali dan ia pun menyadari bahwa perempuan itu adalah korban dari kejahatan yang telah ia lakukan sendiri. Pengusiran terhadap keponakannya yang sedang hamil menyebabkan keponakannya meninggal beserta bayi dalam kandungannya.
“Tiara ! Tiara !” panggil Tante Asti seraya berjalan menuju kamar Tiara
Tante Asti membuka kamar putrinya dan melihat Tiara yang sedang duduk di tempat tidurnya dengan tatapan bingung.
“Ti, mama punya berita penting “ serunya
“Ma, aku hamil” sela Tiara
Kata-kata yang diucapkan Tiara membuat ibunya sangat shock kemudian jatuh tak sadarkan diri.
***
Perempuan itu berjalan ke arah  gerbang yang terbuka, di sekelilingnya dipenuhi cahaya, di sanalah ia bertemu ayah ibunya. Larasati menemukan kembali hidupnya setelah lara yang dialaminya di dunia. Ia bahagia. Tak ada kata lain selain bahagia yang dapat melukiskannya. Lara Larasati sudah hilang berganti senyum terindah yang pernah ia berikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar